Ngengat Arctornis sp. (foto: Kurt Kulac, 2006)
Perenungan
Ketika berita ledakan ulat bulu (famili Lymantriidae, ordo Lepidoptera) muncul di media elektronik maupun cetak, ingatan saya segera kembali ke beberapa peristiwa sejenis yang terjadi beberapa tahun belakangan ini. Saya masih ingat ketika populasi ulat noctuid pemakan daun padi meledak sekitar tahun 1995-1996 (saya lupa tahun persisnya), atau wereng coklat yang fenomenal pada tahun-tahun belakangan ini, kita mengalami keterkejutan yang kira-kira mirip dengan tanggapan kita pada saat mendengar berita ulat bulu ini. Ironisnya, berita tersebut kemudian “dibumbui” dengan “cerita-cerita” yang cenderung bersifat opini, berlebihan, dan bercampur (sedikit) tidak masuk akal. Misalnya, beberapa orang mengatakan bahwa serangan ulat bulu tersebut menggila. Setelah kami mengecek di lapangan, kami hanya menemukan mereka menyerang dua-tiga batang pohon, memang dalam jumlah individu yang luar biasa banyak, namun tidak menyerang pohon yang lain. Apakah ini layak dikatakan “menggila”?
Ada lagi yang karena saking bersemangatnya menyatakan bahwa ulat-ulat itu kehilangan musuh alami, sehingga populasinya menanjak tanpa kendali, kemudian merekomendasikan untuk melepaskan burung gereja dan gelatik untuk memangsa ulat-ulat tersebut. Burung gereja dan gelatik? Bukankah mereka pemakan biji? Ya, tidak masuk akallah untuk “memaksa” mereka menelan ulat-ulat yang ukurannya besar dan dijamin nyangkut di tenggorokan burung-burung kecil itu. Ada-ada saja!
Lalu, hikmah apa yang dapat kita petik dari fenomena ulat bulu tersebut?
Pertama, kejadian biasa yang menjadi luar biasa tersebut menunjukkan budaya panik, lebay, dan suka mendahulukan opini dibandingkan fakta. Perhatikan di media massa, bagaimana reaksi berlebihan dari masyarakat, pejabat, dan terlebih media massa berlomba mengatakan bahwa kejadian tersebut adalah ini dan itu, tanpa pernah mengklarifikasi atau bertanya pada para ahli yang berkompeten, seolah-olah merekalah yang paling tahu.
Kedua, masyarakat tidak pernah belajar dari kesalahan di masa lalu. Apakah kejadian ini merupakan kejadian yang pertama? Saya rasa tidak! Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, kejadian serupa sudah cukup banyak. Bukankah pada zaman Nabi-nabi dahulu ada kejadian serangan belalang kembara, sehingga menghancurkan panen? Atau yang paling baru, kejadian ledakan populasi wereng coklat yang sampai kini masih terus berlangsung (silakan baca pada tulisan sebelumnya). Artinya, kita tidak pernah belajar dari kejadian-kejadian yang telah lalu untuk mendapatkan solusi yang lebih tepat.
Saya kemudian merenung, seandainya kita sedikit bersabar untuk menggali informasi, dan berpikir agak tenang, maka hasilnya tidak akan seheboh saat ini. Nah, bagaimana kita harus menyikapi fenomena ini? Yuk, kita bahas secara sederhana saja.
Mengapa populasi serangga (herbivora) meledak?
Secara umum, fenomena ledakan populasi serangga, seperti halnya ulat, adalah hal yang sangat lumrah. Peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) di muka bumi ini akan meningkatkan kebugaran tumbuhan. Mengapa demikian? Ingat, CO2 adalah salah satu bahan dalam proses fotosintesis tumbuhan. Artinya, jika CO2 meningkat, maka proses fotosintesis juga meningkat, dan gilirannya, serangga (herbivora) akan mendapatkan pakan yang lebih banyak. Tidak heran, populasi mereka melesat dengan cepat.
Tambahan lagi, air hujan yang sering turun dengan amat lebat akan meningkatkan kebasahan tanah, yang juga dapat meningkatkan ketersediaan nutrisi tanah di beberapa lokasi (sesuai jenis tanah/ tidak secara umum di semua lokasi). Hal ini lagi-lagi akan meningkatkan fotosintesis.
Namun, di sisi lain, tumbuh-tumbuhan tersebut jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan “perut-perut lapar” dari si serangga yang jumlahnya luar biasa ini. Anda ingat adanya laju alih fungsi lahan menjadi bangunan kan? Nah, tumbuh-tumbuhan yang secara ekonomi tidak menguntungkan akan ditebang (lagi-lagi akibat pola pikir antropogenik) dan diganti dengan tumbuhan yang lebih menguntungkan. Pada kasus di Ponorogo, ulat hanya makan pada daun mangga varietas manalagi (menurut Pak Suputa). Nah, jadi, ketika daun-daun mangga habis, maka ulat-ulat yang jumlahnya ribuan tersebut tersebut akhirnya berpindah tempat ke sekitarnya, termasuk ke rumah penduduk.
Mekanisme alam yang tidak berimbang
Jika kita cermat, maka kita akan menemukan sebuah ketidaksesuaian antara laju proses bottom-up (faktor-faktor yang mendorong peningkatan kebugaran organisme) dan top-down (mekanisme penekanan populasi organisme oleh faktor-faktor abiotik atau biotik/ musuh alami). Bagaimana penjelasannya?
Kita kembali dulu pada faktor ketersediaan CO2 dan air sebagai bahan utama proses fotosintesis, di samping nitrogen (baca ulasan sebelumnya) yang sering ditambahkan secara berlebihan. Nah, mekanisme bottom-up berawal dari faktor-faktor ini, yaitu meningkatkan kebugaran tumbuhan yang akan berimbas pada serangga pemakan tumbuhan (herbivora).
Tetapi, mari kita lihat hal yang lain, yaitu ketersediaan musuh alami. Sadarkah kita, bahwa jumlah populasi binatang-binatang semacam tokek, burung pemakan serangga, katak, dan pemakan serangga lain sudah sangat jauh berkurang? Padahal, secara alamiah, mereka sangat penting untuk “menahan” laju peningkatan populasi serangga herbivora. Artinya, jika musuh-musuh alami ini tidak ada, maka laju peningkatan populasi serangga herbivora menjadi lepas kendali, dan meledak!
Upaya kita bagaimana?
Akhirnya, kita memang harus bisa mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas dengan bijak. Upaya yang pertama, tentu saja kita harus mengendalikan populasi ulat yang sudah terlanjur meningkat dan menyebar ke mana-mana. Bagaimana caranya? Silakan ulat-ulat yang jalan-jalan ke sana ke mari itu dikumpulkan dengan sapu, dikumpulkan di dalam karung, kemudian dibakar. Selanjutnya, jika populasi ulat daerah Anda belum cukup banyak, cari mereka dan lakukan lokalisasi. Artinya, jika Anda menemukan di satu lokasi, Anda harus mengusahakan agar mereka tidak berjalan ke mana-mana. Anda bisa gunakan cara pengumpulan dan pembakaran di atas.
Bagaimana dengan ngengatnya?
Ngengat lymantriid adalah organisme nokturnal, artinya aktif pada malam hari. Biasanya, organisme nokturnal sangat suka pada cahaya lampu buatan (manusia). Anda bisa menggunakan perangkap cahaya (model dan pembahasan tentang perangkap cahaya bisa dilihat di sini dan sini) untuk memerangkap dan membunuh ngengatnya. Lakukan selama beberapa hari, sampai jumlah ngengat yang tertangkap menurun sampai habis.
Bagaimana dengan individu ulat yang tidak sempat tertangkap dan terbunuh? Tenang, mereka akan mati dengan sendirinya karena tidak beroleh pakan. So, the problem has solved, at least for a while.
Upaya kedua, cobalah untuk melepaskan beberapa jenis musuh alami, misalnya burung-burung pemakan serangga. Cobalah tanam tumbuhan yang mempunyai bunga-bungaan yang dapat menarik kupu-kupu atau serangga lain untuk datang. Kondisi ini akan menarik minat burung-burung tersebut untuk datang dan menetap di daerah tersebut. Selanjutnya, mereka pula yang akan berperan mengendalikan populasi serangga secara alami.
Upaya ketiga, tidak menebang tumbuhan dengan serampangan hanya untuk alasan yang sangat sepele, misalnya secara estetika “tidak indah”. Hal ini sering saya jumpai di perkotaan. Penduduk sangat mudah untuk menebang pohon hanya untuk menempatkan sebongkah bangunan. Mengapa mereka tidak menggantinya dengan menanam pohon yang lain di lokasi terdekat sebagai pengganti? Tumbuhan yang tumbuh selain berperan sebagai pakan serangga herbivora juga berfungsi sebagai “rumah” bagi banyak organisme, termasuk musuh alami serangga herbivora.
Kesimpulan
Bagaimanapun juga, kejadian (luar biasa) di atas seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita tentang akibat yang akan terjadi jika kita tidak mengindahkan tatanan lingkungan yang sudah disusun demikian rupa oleh Sang Maha Pencipta. Tumbuhan dan binatang adalah komponen rantai makanan yang menyusun lingkungan hidup kita. Jika salah satu dari mereka ditiadakan, maka dampak ketidakseimbangan proses alamiah itu akan berbalik kepada kita, manusia! Mari kita lihat, bagaimana Allah sudah berfirman kepada manusia untuk mensyukuri nikmat Allah berupa alam seisinya dengan cara memanfaatkan, menjaga dan tidak merusaknya.
Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. (QS Al-Baqarah: 205)
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim: 7).
“Dan jika Aku hendak membinasakan suatu negeri, maka Aku perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya ketentuan-Ku), kemudian Aku hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS al-Isra’: 16)
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (QS Ar-Rum: 41)
Regard,
Nugroho S. Putra