Penggunaan varietas tanaman tahan untuk mengatasi serangan hama

Pada dasarnya, seperti juga makhluk hidup yang lain, tumbuhan akan menghadapi tekanan dari musuh alaminya, salah satu yang terpenting adalah serangga herbivora. Di bidang pertanian, tanaman mendapatkan tekanan yang luar biasa dari serangga herbivora (lazim kemudian disebut sebagai hama), yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

  1. Penanaman monokultur dan dalam areal luas
  2. Penanaman sepanjang tahun
  3. Penanaman tidak serempak
  4. Penggunaan varietas yang rentan terhadap hama
  5. Penggunaan pestisida secara luas dan tidak bijaksana

(silakan ditilik kembali tulisan-tulisan sebelumnya di sini dan di sini).

Oleh karena itu, manusia berpikir untuk meringankan “beban” tanaman dalam menghadapi tekanan serangga hama, salah satunya dengan cara merekayasa varietas tanaman yang tahan hama, atau paling tidak mampu beradaptasi terhadap serangan hama.

Sejarah pengembangan varietas tanaman tahan hama

Para ahli genetika tanaman mencoba untuk merekayasa tanaman agar tahan terhadap serangan hama dengan cara menemukan sifat-sifat tahan yang ada pada sebuah tumbuhan (tanaman), kemudian memaanfaatkan sifat-sifat tahan tadi untuk mengembangkan sebuah varietas yang (lebih) tahan atau paling tidak mengurangi dampak kerusakan akibat serangan hama.

Orang pertama yang tercatat “sukses” mengembangkan tanaman yang tahan terhadap hama adalah C.V. Riley, pioner entomolog di Amerika Serikat, yang pada tahun 1870-an menemukan dan mencoba bibit anggur yang tahan terhadap serangan kutu Daktulosphaira vitifoliae yang kala itu menjadi hama utama pada anggur (silakan baca di sini).

Di Indonesia, penggunaan varietas tahan hama sudah jamak. Misalnya, pada tahun 1990-an, petani padi di Indonesia dan Asia mengenal istilah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW) yang dikembangkan oleh ilmuwan Indonesia dan IRRI Los Banos, Filipina (silakan buka lamannya di sini). Dan hingga saat ini, pengembangan varietas tahan ini dilakukan secara terus-menerus, karena banyak kejadian yang menunjukkan gejala dan bahkan fakta bahwa varietas tahan tersebut dapat dipatahkan oleh hama, misalnya pada kasus perkembangan koloni biotipe Wereng Batang Coklat yang sanggup menyerang varietas yang semula dianggap tahan. Dalam hal ini, manusia diajak berlomba melawan hama (misalnya WBC) untuk mempertahankan atau mengikhlaskan tanaman padi (dari pemangsaan oleh WBC).

Kategori ketahanan tumbuhan

Sebelum mengikuti bahasan berikut, silakan tilik dan pahami dulu tulisan sebelumnya di sini.

Pada dasarnya, terdapat hubungan timbal-balik (ko-evolusi) antara tumbuhan dan serangga herbivora yang mekanismenya cukup kompleks dan rumit. Salah satu mekanisme yang umum dipelajari orang adalah “untung-rugi”yang “dipertimbangkan” oleh tumbuhan ketika menjalankan strategi pertahanan. Secara garis besar, hipotesis yang dapat digunakan untuk menerangkan mekanisme tersebut ada beberapa, yaitu:

  1. Optimal defense hypothesis
  2. Carbon:nutrient balance hypothesis
  3. Growth-differentiation balance hypothesis
  4. Growth rate hypothesis

Pada hipotesis pertama, tumbuhan diasumsikan akan mempertimbangkan tiga faktor, yaitu jenis risiko dari serangan herbivora, nilai dari bagian/umur tumbuhan yang diserang, dan harga dari pengembangan sistem pertahanan.

Kok rumit ya?

Saya buat lebih sederhana ya. Begini. Ketika tumbuhan diserang, maka mereka tentu akan memilih strategi bertahan atau menyerang sekaligus yang paling efektif dan efisien, yang berkaitan dengan “modal” berupa energi yang harus dikeluarkan (energi kecil tetapi efektif), jadi berkaitan dengan harga sebuah sistem pertahanan. Tumbuhan juga mempertimbangkan, jika yang diserang herbivora adalah bagian tumbuhan yang penting, misalnya pucuk tumbuhan lebih penting dibandingkan daun bagian terbawah, maka strategi pertahanan menjadi lebih baik. Beberapa tumbuhan mempunyai sistem perakaran yang sangat rumit, dan tersembunyi, misalnya sistem stolon pada beberapa jenis rerumputan. Sistem ini diyakini merupakan salah satu sistem pertahanan tumbuhan yang paling hebat melawan herbivora, karena begitu satu bagian dirusak herbivora, mereka masih bisa mengembangkan bagian tubuh lain di lain tempat.

Pada hipotesis kedua, tumbuhan akan mengembangkan jenis sistem pertahanan kimiawi (menggunakan senyawa metabolit sekunder) yang  sangat tergantung pada kondisi di lingkungan tumbuhan tersebut tumbuh. Misalnya, jika tumbuhan hidup pada tanah yang miskin nitrogen, maka senyawa metabolit sekunder berbasis karbon akan lebih banyak disintesis. Demikian pula sebaliknya.

Pada hipotesis ketiga, tumbuhan akan memilih (a) mengembangkan sistem pertahanan, atau (b) mengembangkan bagian tubuh tergantung pada kondisi lingkungan. Jadi mirip dengan hipotesis kedua. Jika tumbuhan amat cepat tumbuh dan mengembangkan bagian-bagian tubuh, maka bisa jadi tumbuhan tersebut mengandung senyawa kimia (metabolit sekunder) dalam jumlah yang rendah, demikian pula sebaliknya.

Pada hipotesis terakhir, tumbuhan diasumsikan mempunyai sistem pertumbuhan yang ditentukan oleh lingkungan, yang pada akhirnya menentukan kemampuannya bertahan terhadap cekaman lingkungan, termasuk herbivora. Pada beberapa penelitian, tampak bahwa tumbuhan membentuk ketahanan yang sifatnya khas lingkungan, dan tidak didapatkan di lingkungan yang berbeda. Unik yah…?

Oleh karena itu, secara ringkas, mekanisme ketahanan tumbuhan terdiri dari gabungan antara ketahanan genetik (sifat yang berasal dari tumbuhan itu sendiri)  dan ketahanan ekologik (dipicu oleh kondisi lingkungan mereka hidup).

Tipe ketahanan

Ada dua tipe ketahanan tumbuhan, yaitu ketahanan kimiawi dan mekanik yang secara simultan dan terkoodinir dengan baik melaksanakan fungsinya. Pertahanan kimiawi dilakukan tumbuhan misalnya dengan mengeluarkan senyawa metabolit sekunder yang beracun, atau paling tidak, tidak disukai oleh herbivora. Atau dengan cara memperbanyak senyawa yang “merepotkan” herbivora untuk merusak jaringan tumbuhan. Pertahanan mekanik oleh tumbuhan dilakukan dengan cara memperkuat bagian luar dengan bangunan-bangunan yang tidak disukai atau menyulitkan acara makan serangga, misalnya trikoma, duri-duri, atau cairan lengket pada permukaan tubuh, atau produksi resin, lignin atau silika yang memperkuat permukaan tumbuhan. Ketahanan kimiawi dan mekanik ini bisa terjadi secara otomatis, tergantung sifat pertahanan khas tumbuhan, atau terinduksi (dipicu oleh aktivitas merusak jaringan tumbuhan oleh herbivora).

Sementara itu, para pengembang varietas tanaman menggunakan dasar ketahanan genetik berupa non-preferensi (tidak disukai atau menolak/antixenosis), antibiosis, dan toleran untuk merancang varietas tahan (menurut Painter, 1958).

Non-preferensi berarti, tumbuhan tersebut tidak disukai herbivora, mungkin karena senyawa kimia yang bersifat menolak atau beracun, atau struktur mekanik dari tumbuhan yang tidak disukai oleh herbivora, misalnya berduri, kulit batang keras, dan sebagainya.

Antibiosis berarti tumbuhan mengeluarkan senyawa beracun atau berbahaya yang akan berdampak negatif pada herbivora yang mengkonsumsinya. Herbivora akan mengalami gangguan pertumbuhan, menurunkan keperidian, memperlambat kematangan seksual, dan sebagainya.

Tumbuhan yang toleran berarti, jika dibandingkan dengan tumbuhan yang tidak toleran, maka mengalami kerusakan atau kerugian yang lebih kecil. Jadi biar dihuni dan diganggu oleh banyak herbivora, kalau tanaman itu toleran, ya biarkan saja, tidak perlu dikendalikan.

Prospek dan tantangan varietas tanaman tahan hama

Di zaman ketika penduduk dunia, termasuk Indonesia, berkembang dengan sangat cepat, maka prospek varietas tanaman yang tahan terhadap gangguan hama menjadi sangat bagus. Pada era modern ini, pengembangan varietas tanaman tahan hama sudah sedemikian canggih, misalnya melalu teknik penyisipan gen yang melahirkan tanaman transgenik. Hanya saja, tanaman jenis ini tidak boleh digunakan begitu saja, namun membutuhkan penelitian dampak terhadap lingkungan yang menyeluruh, terutama dampak buruk terhadap organisme non-serangga. Apalagi ditengarai, bahwa tanaman transgenik mungkin membunuh serangga-serangga musuh alami, dan beberapa jenis serangga sudah menampakkan gejala resisten terhadap tanaman yang disisipi gen bakteri Bacillus thuringiensis. Silakan baca penjelasan yang lebih lengkap di sini.

Selamat membaca.

Regard,

Nugroho S. Putra

Referensi

  • Painter, R.H., 1958. Resistance of plants to insects. Annual Review of Entomology 3: 267-290.
  • Pedigo, L.P., 2002. Entomology and pest management. Prentice-Hall of India, New Delhi.
  • Smith, C.M. 2005. Plant resistance to arthropods. Molecular and conventional approaches. Springer, Dordrecht.

Peresmian lahan jagung transgenik yang disisipi oleh gen Bt (Dave Hoisington, 2003)

Serangga sebagai sumber gizi: Alternatif penangkal gizi buruk

Beberapa pemberitaan di media massa tentang gizi buruk memaksa saya untuk merenungkan kembali makna “Gemah ripah loh jinawi kerta raharja (GRLJKR)” yang (dahulu) disematkan oleh para tetua kita kepada Indonesia. Benarkah makna kata-kata tersebut masih pantas untuk saat ini? Bagaimana tidak ragu, karena jika benar GRLJKR, maka tak akan ada anggota masyarakat yang mengalami gizi buruk di Indonesia. Menurut laman Indonesian Nutrition Network (http://www.gizi.net/), sejak tahun 2003, penderita gizi buruk pada balita masih berkisar pada angka 8,5% dari jumlah total penduduk Indonesia atau sekitar 4 juta jiwa. Dan menurut Global Hunger Index (GHI), kasus gizi buruk di Indonesia masuk kategori serius (di bawah kategori mengkuatirkan dan sangat mengkuatirkan). Kondisi ini tentu bukan sesuatu yang remeh, tetapi sebaliknya, sangat serius!

Saya tak akan menyalahkan siapapun dalam kasus ini. Tugas saya hanya mengajak kita yang masih ingin melihat kondisi Indonesia menjadi lebih baik, untuk berpikir keras, mencari upaya untuk memperkecil atau bahkan menghilangkan kondisi gizi buruk tersebut pada masyarakat. Bisakah kita? Ada banyak sekali alternatif sebenarnya, tetapi saya hanya ingin melihatnya dari kaca mata entomologi, bidang yang saya pahami.

Lho, apa hubungannya gizi buruk dengan entomologi/ serangga?

Begini. Tahukah Anda bahwa serangga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber nutrisi yang cukup baik. Tak percaya? Ha…ha…ha…, saya yakin Anda akan bergidik geli atau malah jijik membayangkan ulat atau uret yang gemuk lunak itu naik ke meja makan…^-^ Tapi benar kok, manusia sudah dan hingga kini masih memanfaatkan serangga sebagai sumber makanan.  Entomofagi adalah kata yang sering digunakan bagi kegiatan memakan serangga.

Sebelum mengenal teknik berburu dan bercocok tanam, manusia memanfaatkan serangga sebagai sumber makanan. Dan hingga kini, lebih dari 1000 jenis serangga telah dimakan oleh masyarakat di banyak negara. Di Indonesia, Anda dapat menjumpai orang-orang di kawasan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta biasa mengkonsumsi belalang kayu goreng. Dan hampir setiap orang Indonesia mengenal laron sebagai salah satu menu yang lezat. Di kawasan Asia, berbagai macam jenis serangga dimasak dan dijual sebagai lauk atau kudapan.

 

Jengkerik goreng (http://static.guim.co.uk)


 

"Sate" pupa ulat sutera (Steven G. Johnson, 2009)

Rasanya? Hmmm lezat juga… Saya pernah mencoba jengkerik goreng, dan cukup yummy juga ^-^. Apalagi jika diolah dengan tepat, wah gak kalah deh dengan jenis lauk yang lain. Silakan lihat videonya di sini (http://www.msnbc.msn.com/id/21134540/vp/32106086#32106086).

Berapa sih kandungan gizi serangga?

Menurut para ahli gizi, serangga adalah sumber protein yang cukup baik, di samping vitamin, mineral dan lemak. Serangga juga menjadi sumber energi yang cukup lumayan. Misalnya, ulat sutera (Bombyx mori) dan ulat HongKong (Tenebrio molitor) mengandung energi rata-rata 5 -6,5 kkal/ g berat kering. Seratus gram larva ngengat sutera raksasa menyediakan 100% kebutuhan harian tubuh akan tembaga, seng, besi, thiamin, dan riboflavin. Luar biasa kan?

Beracun atau tidak?

Nah, sampai di sini, saya hanya bisa mengatakan bahwa tidak semua orang bisa mengkonsumsi serangga. Beberapa kejadian yang pernah saya jumpai adalah gejala alergi pada beberapa orang yang rentan terhadap alergen (bentol-bentol merah di sekujur tubuh dan rasanya panas dan gatal). Belum lagi, jika Anda mencoba mengkonsumsi serangga herbivora, maka Anda akan berhadapan dengan risiko kontaminasi logam berat, misalnya timah yang terakumulasi di dalam tubuh, atau dari pakan serangga yang bersangkutan.

Kesimpulannya…?

Jika Anda berminat untuk mencicipi kelezatan menu dari serangga ini, maka hal-hal berikut ini harus diketahui, yaitu:

  1. Gizi yang terkandung di dalam tubuh serangga yang akan Anda masak.
  2. Senyawa racun yang terkandung di dalam serangga.
  3. Pembiakan massal yang aman dan menguntungkan, terutama jika Anda berminat untuk buka warung menu serangga ^-^. Misalnya, jengkerik dan belalang daun.
  4. Asal atau pakan dari serangga yang akan Anda masak harus diketahui dengan pasti untuk meminimalkan risiko keracunan logam berat atau senyawa beracun yang lain.

Anda bisa menggunakan mBah Google untuk mencari informasi-informasi tersebut. Laman-laman berikut ini dapat Anda gunakan sebagai rujukan untuk mengetahui seluk-beluk menu serangga.

  1. http://en.wikipedia.org/wiki/Entomophagy
  2. http://insectsarefood.com/
  3. http://www.guardian.co.uk/environment/blog/2009/aug/19/insects-food-crisis
  4. http://www.food-insects.com/

 

Regard,

Nugroho S. Putra

Menghadiri International Symposium on Sustainable Vegetable Production in South-East Asia di Salatiga

Hari Selasa tanggal 15 Maret 2011 kemarin saya, Pak Benito Heru Purwanto, Bu Sri Nuryani, dan Pak Eko Hanuddin menghadiri Simposium Internasional pertama tentang pengelolaan tanaman sayur-sayuran yang berkelanjutan di Universitas Kristen Satyawacana Salatiga (silakan lihat di http://www.ishs.org). Lumayan, saya mendapatkan banyak sekali tambahan wawasan  dari ahli-ahli bidang lain, terutama dari disiplin ilmu tanah. Keren-keren banget lho ilmu mereka!

Oya, sebagai oleh-oleh saya sertakan bahan presentasi saya. Silakan unduh disini. Abstraknya saya tulis sebagai berikut.

Potency of composted Siam Weed to control the population of herbivore insects in Chinese cabbage

Nugroho Susetya Putra1), Benito Heru Purwanto1), Dwi Suci Rahayu2)

1)Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University, Jl. Flora Bulaksumur, Yogyakarta 55281

2)Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute, Jl. Jendral Sudirman, Jember 68118

Abstract

Siam weed, Chromolaena odorata (Spermatophyta, Asteracea) is widely known as serious weed in tropical regions, mainly for its fast-and-massively spreading onto new opening habitat and strongly competing with the main crops. However, in recently years, some studies have revealed positive effects of composted Siam weed as soil amendment as well as being an eco-friendly insecticide. However, so far, there was a very little study to show the bottom-up effect of composted Siam weed on both crop and its associated arthropods. Our study showed that composted Siam weed enabled to maintain the population of herbivores as well as to reduce their negative impacts on Chinese cabbage. The enhancement of crop’s performance influenced by compost and suppression by carnivores controlled the population of herbivores. The bottom-up and top-down mechanisms of our system was discussed.

Key words: Arthropods, Chinese cabbage, Chromolaena odorata, Siam weed, soil amendment.

Regard,

Nugroho S. Putra

Tentang status serangga herbivora: Menguntungkan atau merugikan?

Meneruskan beberapa posting terdahulu, saya ajak Anda untuk merenungkan kembali status serangga herbivora, bukan atas dasar kepentingan manusia saja, namun juga atas dasar kepentingan yang lebih luas, yaitu bumi dan seisinya…cieehhh..keren nih. Maksudnya begini nih: Selama ini, orang mengatakan kalau ada serangga yang makan pada “tanaman”, maka segera disebut hama. Tetapi, jika orang menemukan ada serangga yang makan pada “tumbuhan” (bukan tanaman lho), maka mereka menyebutnya sebagai musuh alami tumbuhan. Kata tumbuhan di sini diartikan sebagai “gulma” atau tumbuhan pengganggu. Artinya, serangga pemakan “gulma” tadi menguntungkan (manusia). Lalu, bagaimana status sebenarnya dari serangga “herbivora” yang memang makanannya adalah tumbuhan? Tulisan kali ini hanya sekedar mengingatkan kembali bahwa bagaimanapun juga, sesuai dengan penciptaan tumbuhan oleh Sang Maha Pencipta, maka tumbuhan pastilah diciptakan dengan membawa fungsi dan kegunaannya masing-masing, terutama bagi benda atau makhluk yang lain. Percaya kan? Silakan simak ayat berikut ini:

[QS. Ali-Imran:191] (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.

[QS. Al-Ahqaaf:3] Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.

Yuk, kita bedah bersama-sama!

Pemakan tumbuhan dan bahan pakan bagi karnivora

Istilah pemakan (eater) merujuk pada aktivitas makan dari serangga pada bagian-bagian tanaman, misalnya pada daun, di dalam batang, di dalam polong, dan sebagainya. Menurut teori biologi, sama halnya dengan organisme yang lain, mereka makan karena membutuhkan bahan-bahan tertentu bagi upaya pelestarian keturunan (fungsi reproduksi), misalnya nitrogen. Pada tataran selanjutnya, serangga herbivora ini menjadi pakan bagi serangga atau organisme karnivora yang lain (insektivora). Nah, di sinilah serangga herbivora menjadi untaian rantai makanan yang penting, yaitu menghubungkan antara tumbuhan dan serangga karnivora. Jika sudah demikian, maka serangga pemakan tumbuhan menjadi komponen yang penting dan harus ada! Itulah sebabnya, banyak ahli konservasi yang menyatakan bahwa: herbivora harus tetap ada di alam, paling tidak, sekadar untuk memberi makan musuh alami (salah satu hakikat meng-konservasi musuh alami).

Penyerbuk

Penyerbukan yang dilakukan oleh serangga (entomophyli) dianggap sebagai dampak sampingan dari kegiatan pencarian pakan berupa nektar dan pollen oleh serangga, artinya kegiatan tanpa sengaja yang dilakukan oleh serangga. Lebah misalnya, ketika sedang hinggap pada bunga untuk mendapatkan nektar dan pollen, secara tidak sengaja memboyong serbuk-serbuk sari yang menempel pada korbikula-nya. Jika ia hinggap pada bunga yang lain, serbuk sari tadi secara tidak sengaja akan gugur dan jatuh ke dalam liang bunga betina, dan terjadilah penyerbukan! Proses penyerbukan dapat dilihat di sini (http://www.bcb.uwc.ac.za/ecotree/flowers/pollination.htm#bottom). Informasi tentang penyerbukan silakan dilihat di sini. (http://www.mbgnet.net/bioplants/pollination.html).

Perhatikan butir-butir serbuk sari yang menempel di sekujur tubuh lebah ini! (foto: Jon Sullivan, 2004)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengendali populasi tumbuhan

Pada peran inilah, serangga herbivora sering dianggap menguntungkan bagi manusia, terutama jika dihubungkan dengan pengendalian populasi gulma. Beberapa contoh serangga pemakan gulma misalnya lalat Argentina, Procechidochares connexa dan ngengat Pareuchaetes pseudoinsulata (pemakan Gulma Siam), ngengat Cactoblastis cactorum pemakan Gulma Opuntia dan sebagainya. Tetapi jangan lupa, istilah gulma sendiri sifatnya relatif, sehingga istilah “menguntungkan” atau “merugikan” juga bersifat relatif (silakan ditilik kembali pada bahasan tentang Cactoblastis cactorum).

Kesimpulan: Relativitas peran serangga herbivora

Dari beberapa hal yang sudah dibahas di atas, maka bisa disimpulkan bahwa manfaat serangga herbivora tetap lebih penting dibandingkan “dampak merugikan”  mereka sebagai hama, apalagi makna “hama” yang sangat relatif (antroposentrik). Di sini, serangga herbivora berfungsi sebagai penghubung antara tumbuhan dan organisme karnivora (disebut sebagai konsumen tingkat dua, tiga, dan seterusnya). So, mari kita memandang serangga herbivora sebagai organisme yang menguntungkan. Perkara mereka merusak tanaman kita, ya…pandai-pandailah kita mengelola populasi mereka. Artinya, bagaimana kita hidup berdampingan dengan serangga herbivora tanpa ada yang dirugikan. Siapkah kita???

Regard,

Nugroho S. Putra

Pemberantasan vs. pengelolaan

Ketika petani melihat sawahnya diserang Wereng Batang Coklat (WBC) dalam jumlah besar, maka tindakan yang hampir pasti dilakukannya adalah …….menyemprotkan pestisida (sintetik)!

Tujuannya? Ya hanya satu: menumpas habis WBC tersebut!

Nah, coba Anda cermati kalimat “…menumpas habis WBC …..”

Ada cerminan rasa emosional, kuatir, panik, marah, mungkin juga frustasi, gemas…. Apalagi?

Situasi di atas mungkin sama dengan ketika Anda sedang duduk santai sambil membaca koran ditemani sepiring singkong goreng dan secangkir kopi panas….Yummy…!! Tiba-tiba sekelompok nyamuk menyerbu Anda, dan mulai menusukkan jarum stiletnya, kemudian mengisap darah Anda….. Apa reaksi Anda?

“Waduh…!! Nyamuk sialan!….Hhhh….!!!”

Ya, kaget, marah…terus tangan Anda segera melayang ke sana ke mari berlomba cepat untuk memukul mati nyamuk-nyamuk tadi sambil misuh-misuh gak karuan …!!! Ya nggak?? He…he…. itu reaksi wajar kok.

Ya seperti itulah perasaan petani tadi. Mereka sudah bersusah payah mempersiapkan lahan, kemudian mengeluarkan banyak biaya untuk membeli benih, pupuk, dan sebagainya. Ehh….pada gilirannya malah seperti memberi makan para wereng-wereng itu.. Mana gak dongkol kan?

Oke, kita kembali ke kata yang pertama, yaitu pemberantasan. Arti dari pemberantasan adalah memusnahkan, menumpas habis, dan melibatkan setidaknya faktor emosi. Pada kasus petani di atas, berpikiran jernih mungkin menjadi pilihan yang tidak populer. Pilihan mereka hanya satu, bagaimana caranya mengenyahkan wereng-wereng tersebut secepatnya untuk menyelamatkan padi. Tindakan petani tersebut bisa dipahami, yaitu paling tidak menyelamatkan “sedikit” bagian dari tanaman untuk dipanen. Namun, sebenarnya, secara ekonomis, jika mereka menggunakan cara yang maaf…membabi-buta… tersebut, maka sebenarnya tidak ada keuntungan ekonomis sama sekali! Coba bayangkan, mereka sudah mengeluarkan sekian rupiah untuk membeli benih, pupuk, dan sekarang pestisida untuk membunuh wereng, tetapi hasilnya? Wereng masih ada, dan bahkan mungkin berpotensi menjadi sumber masalah di musim tanam berikutnya karena sebagian resisten, dan yang jelas, populasi musuh alami sudah menurun drastis terpapar pestisida. Dan pada saat tersebut mereka bisa saja hanya mendapatkan sejumlah kecil sisa hasil panen.

Penyemprot berani sakit! Coba lihat, petani ini menyemprot tanpa baju lengkap dan tanpa masker wajah. Sangat berbahaya! (sumber: flickr.com)

Dari segi ekologis, tindakan mereka menyemprotkan pestisida secara besar-besaran tersebut juga membunuh sekian banyak musuh alami yang sebenarnya justru harus dilestarikan untuk mengelola populasi WBC di musim-musim tanam berikutnya.

Kesimpulannya, petani rugi beberapa kali dengan memberantas WBC! Ya rugi secara ekonomis dan lingkungannya rusak, termasuk kehilangan potensi pengendalian WBC oleh musuh alaminya di masa mendatang.

———————————————————————————————————————————

Nah, sekarang mari kita lihat situasi kedua, yaitu bagaimana jika petani melakukan pengelolaan habitat dengan baik? Apa yang akan didapatkan? Apa keuntungan melakukan upaya ini dibandingkan memberantas hama?

Mengelola (to manage) hama adalah upaya-upaya yang dapat dilakukan manusia untuk sesedikit mungkin menggunakan pestisida (sintetik), sementara di satu sisi yang lain mengupayakan lingkungan yang cocok untuk tanaman dan musuh alami hama, namun tidak cocok untuk hama itu sendiri. Upaya ini mencakup tiga hal penting, yaitu pencegahan  (prevention), pengamatan/ pemantauan (observation/ monitoring), dan penanganan (intervention).

Pencegahan. Upaya ini adalah mengusahakan agar populasi hama tidak mencapai Ambang Ekonomi (AE). Upaya-upaya pencegahan dapat dilakukan misalnya dengan menanam benih tahan hama (bukan hanya yang mampu berproduksi tinggi, tetapi rentan serangan hama lho), mengupayakan konservasi musuh alami, mengurangi penggunaan pestisida yang berlebihan (misalnya terjadwal, ada atau tidak ada hama), pemupukan sesuai kebutuhan tanaman dan tanah (baca di tulisan sebelumnya), tidak melakukan penanaman satu jenis tanaman secara terus-menerus sepanjang tahun (harus ada pergiliran tanaman!), dan upaya sejenis.

Pengamatan/ pemantauan. Upaya ini mutlak dilakukan, di antaranya dengan mengamati potensi kenaikan populasi hama (terlebih hama sekunder dan hama migran/ berasal dari luar wilayah), potensi penekanan oleh musuh alami (jumlah, jenis dan komposisi musuh alami), dan potensi kerusakan yang disebabkan oleh hama perusak (berpotensi merugikan atau tidak). Jika ditemukan kenaikan populasi hama yang signifikan, kemudian musuh alami tidak mampu menekan, dan kerusakan pada tanaman semakin parah, maka upaya penanganan perlu dilakukan.

Penanganan. Upaya ini dilakukan sesuai dengan prinsip efisien (murah), aman (tidak membahayakan organisme bukan sasaran, termasuk manusia), dan efektif (mempan).  Dalam hal ini, penggunaan pestisida dibatasi hanya menggunakan pestisida yang sangat selektif dan relatif aman, misalnya pestisida berbahan tumbuhan (botani) atau patogen, dan dalam jumlah yang optimal (sebatas dibutuhkan saja).

Kesimpulannya,  upaya pengelolaan tetap harus bersandar pada prinsip kesesuaian dengan lingkungan, alamiah, dan sesedikit mungkin melibatkan bahan-bahan berpotensi bahaya semacam pestisida sintetik. Bahkan, jika memungkinkan, penggunaan pupuk organik sangat dianjurkan. Keuntungan upaya pengelolaan sangat jelas, yaitu tanaman tumbuh dengan lebih bersih (dari racun), mungkin juga lebih lezat (karena menggunakan bahan organik), musuh alami tetap berada di lahan, populasi hama dapat ditekan (karena selalu terpantau), dan biaya budidaya dapat ditekan (karena penggunaan pupuk dan pestisida dapat dioptimalkan, atau sebatas dibutuhkan saja).

Nah, sekarang jelas kan, mana yang lebih murah dan aman? Anda pilih yang mana?

Hmmm, jadi teringat iklan “obat nyamuk” di TV. Masak sih hanya untuk melawan segelintir nyamuk atau kecoa saja harus dengan menyemprotkan bahan-bahan beracun tersebut secara membabibuta begitu? Yang benar saja! Saya biasa membunuh kecoa dengan satu-dua kali tepokan sandal. Mati juga tuh kecoa. Gak ada duit keluar untuk beli “obat nyamuk”, dan tidak ada resiko pusing-pusing gara-gara menghirup “deodorant berbahaya” bernama pestisida! Kadang-kadang iklan di media cenderung lebay ya…. Kapan ya bisa buat iklan lebay serupa tetapi menggunakan tepokan sandal….ha….ha…..ha….. (idegila.com).

Sukseskan pertanian sehat dan aman yuk!

Regard,

Nugroho S. Putra

Founder blog Dongeng tentang Serangga dan Majalah SERANGGA

Menjadi penulis yuk!

“Mas, emang enak jadi penulis?” Itu salah satu pertanyaan teman-teman beberapa waktu yang lalu ketika saya mengajaknya untuk menulis buku.

Atau,

“Wah, sulit atuh menulis….???” (sambil wajahnya memelas :))

Atau,

“Saya gak bakat menulis pak. Lha wong nulis surat cinta saja gak gape, buktinya selalu ditolak…! Apalagi menulis buku” (walah kok malah menuduh yang bukan-bukan tho ni orang…!).

Dan seribu satu alasan lain, bukti dari “ketidakmauan” (bukan ketidakmampuan lho, lain lagi itu!).

Pembaca budiman,

Jika Anda mencoba untuk menengok kesuksesan dari beberapa tokoh dunia penulisan di Indonesia, mungkin juga di dunia, maka Anda akan memahami bagaimana mereka amat menikmati keindahan dan keasyikan menulis, di samping kemudian meraih kesuksesan (finansial maupun popularitas). Tak percaya? Coba lihat fenomena JK. Rowlings yang menciptakan novel berseri yang paling terkenal saat ini, yang kemudian diangkat ke layar lebar: Harry Potter! Sebelum itu, tercatat nama Agatha Christie (penulis novel fiksi misteri paling terkenal di dunia dengan tokohnya Hercules Poirot dan Miss Marple) dan Enid Blyton (penulis novel berseri Petualangan Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, dan Sapta Siaga) yang terkenal karena keunikan hasil karya mereka.

Di Indonesia, Anda bisa berkaca pada Habiburrahman El Shirazy si penulis beberapa novel dahsyat (Ketika Cinta Bertasbih, dll.), atau Andrea Hirata yang melejit lewat novel Laskar Pelangi. Mari simak fakta berikut: Novel Ayat-ayat Cinta-nya Kang Abik (panggilan akrab Habiburrahman) kabarnya menghasilkan royalti sebesar Rp. 1,5 milyar, dan novel yang lain bernilai ratusan juta rupiah. Bagaimana dengan Andrea Hirata? Melihat keberhasilan novel-novelnya (salah satunya Laskar Pelangi yang sudah diangkat ke layar lebar), sepertinya dia juga menikmati kesuksesan yang sama dengan Kang Abik.

“Nah, menjadi terkenal dan banyak duit??? Siapa gak mau??

Tapi, tunggu dulu! Apakah hanya dua hal itu saja yang menjadi tujuan Anda menulis? Meskipun jika sudah terkenal seperti mereka-mereka itu, Anda berhak juga kok untuk menikmati “kebebasan finansial” yang menggiurkan ditambah dengan popularitas yang melenakan. Gak ada yang melarang!

Beberapa orang menyebutkan beberapa tujuan menulis, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Menulis untuk mempengaruhi orang lain

Beberapa penulis merasa gundah, galau, miris pada beberapa hal yang dianggapnya tidak pas atau bahkan keliru. Maka mereka mencoba menuliskannya dalam bentuk buku, novel, atau sekedar artikel di media. Rachel Carson adalah salah satu contohnya. Revolusi hijau yang ditandai dengan meningkatnya pemakaian bahan-bahan kimia untuk mendukung pertanian ternyata juga meningkatkan dampak buruk bahan-bahan tersebut pada organisme. Keracunan pada organisme-organisme yang tidak berhubungan langsung dengan pertanian, atau munculnya penyakit-penyakit berbahaya semacam kanker mendorong Rachel menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Silent Spring, yang kemudian mampu menyadarkan orang Amerika waktu itu untuk meninjau kembali cara-cara bertani yang keliru (untuk materi lebih lengkap, silakan baca di http://asree84.wordpress.com/2010/08/06/rachel-carson-when-the-springs-silent/).

Di Indonesia sosok Helvy Tiana Rosa (HTR) sang pendiri Forum Lingkar Pena (FLP) mungkin dapat menjadi wakil dari kelompok penulis yang bertujuan memotivasi orang untuk melakukan sesuatu hal yang baik, dalam hal ini melalui dunia kepenulisan. Helvy sendiri mungkin prihatin melihat kecuekan masyarakat terhadap hal-hal yang tidak benar, semisal penindasan bangsa Palestina oleh Israel, dan problem sosial masyarakat di tanah air. Tak terhitung kelompok-kelompok penulis dari berbagai kalangan yang bermunculan akibat termotivasi oleh semangat Helvy, bahkan hingga ke manca negara. Tercatat ada banyak FLP cabang yang kemudian berdiri di Amerika, Jepang, negara-negara Eropa, HongKong, Taiwan, dan sebagainya. Kiprah HTR dapat ditilik di http://helvytr.multiply.com/.

Di dunia maya, nama Romi Satrio Wahono (tilik di http://romisatriawahono.net/) dan Enda Nasution (tilik di http://enda.goblogmedia.com/) adalah dua di antara sekian banyak penulis yang mendedikasikan sebagian besar waktunya untuk menyemangati orang lain, sekaligus mengajak orang lain untuk “peduli” pada sesuatu yang diyakini benar.

2. Menulis untuk kesehatan

Loh, kok bisa? Menurut para ahli, orang yang terbiasa menulis itu sehat lho. Lha iya, orang lagi punya banyak masalah, daripada dilampiaskan dengan ngejotosin orang atau memisuhi (gak karuan ngene basane rek..!) orang, kan mending dituliskan ke dalam buku harian. Anda bisa menambah masalah yang sudah parah jika dilampiaskan dengan menjotosi orang lain kan? Ingat, buku harian adalah salah satu teman yang tak mungkin protes, meskipun Anda menuliskan beribu kata tak pantas ke dalamnya. Bener gak? Nah tuh, pembaca yang suka pada bingung nglampiasin amarah…..ambil saja buku harian plus alat tulis. Dah, silakan menuliskan segala uneg-uneg di sana. Dijamin, setelah selesai, perasaan jadi plong, dan sapa tahu malah buku harian itu bisa dibeli oleh sutradara untuk dibuatkan film.. :). Ya, siapa tahu kan? Rejeki kan gak lari ke mana kalo jodoh…. Kang Abik dan Andrea Hirata saja bisa kok. Artikel Manfaat Menulis untuk Kesehatan dapat ditilik di blog ini: http://niahidayati.net/manfaat-menulis-untuk-kesehatan-mental.html.

3. Menulis untuk mencari bekal di akhirat

Waduh, ini tujuan kelas berat! Coba sekarang bayangkan, jika setiap orang yang berilmu di dunia ini menuliskan segala ide-ide brilian mereka ke dalam buku. Hmm…berapa ilmu bisa saling dibagikan, disebarluaskan, dan dinikmati bersama. Alangkah indahnya bukan?  Coba simak hadist berikut:

“Bersumber dari Abu Hurairah Radhyallahu ‘anhu, ia menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal : yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakannya” HR. Muslim

Nah, jika Anda mengikat ilmu dan menuliskannya dalam bentuk buku, artikel, atau diblog, kemudian Anda mampu mendorong orang lain untuk berbuat baik dan benar (ceileh…), maka Anda akan mendapatkan amal bukan? Mau kan? Mau dong….!

“Lalu, bagaimana cara membangun motivasi dan kepercayaan diri untuk menulis?

Gak susah-susah amat kok memaksakan diri untuk menulis. Ingat-ingat saja keuntungan menulis seperti saya tuliskan di atas, maka Anda akan terinspirasi untuk menulis. Memang sih, ada tulisan yang enak dibaca, sebaliknya ada pula yang acak-acakan gak jelas juntrung masalahnya. Tetapi jangan takut bin kuatir! Pertama, tuliskan saja apa yang ingin Anda tulis. Lalu, cari teman yang menurut Anda lebih baik daripada Anda dalam hal menulis, dan minta mereka untuk menilai tulisan Anda. Nah, dari situ Anda akan mulai memahami beberapa kiat dan jurus yang bisa Anda gunakan untuk menghasilkan tulisan yang baik.

Jika Anda sudah menghasilkan banyak tulisan, dan kemudian apresiasi orang mulai mengalir ke Anda, maka Anda boleh merasakan peningkatan kepercayaan diri: Wah, aku sudah mulai gape nulis nih…. :). Maka Anda akan makin gila menulis…!

Tetapi satu hal jangan Anda lupakan, bahwa apresiasi orang jangan dijadikan semata-mata sebagai tujuan utama Anda dalam menulis. Apalagi Anda mengharapkan pujian orang lain. Mengapa? Ya, jika Anda menulis kemudian tak banyak atau bahkan tak ada yang mengapresiasi tulisan Anda, maka Anda hanya akan melempar handuk dan ……menyerah! Berhenti total!  Tetapi jika tujuan Anda menulis adalah untuk berbagi, maka apapun kata orang akan Anda sikapi dengan santai dan Anda tetap bersemangat menulis.

Menulis di manapun jadi! (sumber: worldhum.com)

Setuju? Menjadi penulis yuk…!!

Regard,
Nugroho S. Putra

E-mail: nugrohoputra27@gmail.com

Wereng Batang Coklat: pengganggu yang sulit ditaklukkan

Nilaparvata lugens (sumber: IRRI)

Ibarat bara  di dalam sekam

Itulah agaknya kalimat yang tepat untuk menggambarkan betapa Wereng Batang Coklat (atau Nilaparvata lugens Stal. (Hemiptera: Delphacidae) adalah pengganggu petani padi yang berbahaya, sulit diprediksi kemunculannya, dan sulit ditaklukkan. Pagi ini, saya membuka beberapa surat kabar online, dan menemukan sedikitnya 3 berita yang sama-sama memberitakan keganasan WBC beberapa waktu yang lalu. Liputan6.com memberitakan bahwa ribuan hektar sawah di Klaten Jawa Tengah diserang oleh WBC (17 Januari 2011), sedangkan Beritajatim.com memberitakan bahwa 211 hektar sawah di Gresik Jawa Timur telah diserang WBC (1 Februari 2011). Dan yang terbaru, Harianjoglosemar.com memberitakan bahwa hasil padi musim tanam III di Sukoharjo mengalami penurunan sekitar 30 persen akibat serangan WBC (1 Februari 2011).

Lalu apa yang kita lakukan?

Jikalau sudah terserang WBC, apalagi sampai seluas ratusan hektar, cara yang hampir selalu dilakukan oleh petani ataupun direkomendasikan oleh pihak pemerintah adalah, menyemprotkan (mengguyurkan tepatnya!) pestisida di areal yang terserang, dengan satu harapan: WBC mampus! Hmmm….sesederhana inikah pola pikir kita? Lantas, jika kemudian di musim tanam berikutnya juga muncul serangan serupa, mungkin dalam skala yang lebih luas, apakah juga harus diselesaikan dengan mengguyurkan pestisida? Apakah tidak ada upaya lain yang lebih murah dan sekaligus aman? Maksudnya aman? Ya, bukankah pestisida adalah racun dengan segala dampak negatifnya (baca di sini)? Lagian, pestisida kan relatif mahal. Bisa-bisa setelah melakukan penyemprotan, bukan keuntungan yang mereka peroleh tetapi kerugian yang besar karena (1) biaya produksi menjadi lebih tinggi daripada hasil yang dicapai, ditambah (2) kerusakan pada areal sawah karena terpapar pestisida, dan (3) munculnya penyakit (biasanya kanker) pada petani, keluarganya, dan masyarakat di sekitar persawahan dalam kurun waktu tertentu. Nah! By the way omong-omong, beras yang Anda makan sehari-hari itu bersih dari pestisida gak ya??? Hati-hati lho…… Gak menakut-nakuti, hanya membela …. eh …mengatakan yang benar, bahwa beras yang beredar di pasaran itu kemungkinan mengandung banyak residu pestisida. So, mengapa tidak mencoba beras non-pestisida?

Sebenarnya kejadian serangan/ledakan populasi WBC ini disebabkan oleh apa tho?

Oke, sekarang kita bahas satu per satu, faktor apa saja yang menyebabkan populasi WBC meledak tanpa ampun. Saya akan merangkum beberapa fakta tentang cara budidaya oleh petani secara umum.

1. Pola tanam. Petani umumnya menggunakan pola tanam padi-padi-padi (lagi). Emang gak ada tanaman lain yang menguntungkan? Ya ada sih, cuma mungkin mereka berpikir, mumpung harga padi lumayan, atau mumpung banyak orang masih makan nasi (ehh…ada yang sudah pindah makan ubi, ketela, thiwul atau grontol ya….^-^?), mumpung musim lagi banyak air, atau budidaya padi lebih familiar buat mereka, dan masih banyak alasan lain. Banyak ahli menyatakan (berdasarkan penelitian yang sahih lho!), bahwa ketersediaan pakan yang terus-menerus adalah salah satu pendukung keberadaan serangga (hama) yang penting. Benar kan logikanya? Kalau setiap musim WBC disediakan pakan (padi), maka ya pantas mereka terus beranak-pinak sepanjang musim-musim tersebut kan? Nah, artinya, jika dibalik, jika Anda ingin memutuskan siklus hidup WBC, maka Anda dapat melakukan pergiliran tanam dengan tanaman non-padi. Mungkin Anda dapat memilih padi-padi-palawija. Dengan demikian, setidaknya selama satu musim, WBC tidak mendapatkan pakan. Tambahan lagi, keuntungan menanam tanaman palawija adalah mengembalikan atau malah meningkatkan kesuburan tanah pasca ditanami padi. Ingat, padi adalah tanaman yang cukup rakus akan hara. Jadi, setelah hara dikuras oleh padi, tanaman palawija, misalnya kedelai, yang mampu menambat N dari udara, akan membantu tanah mendapatkan kembali N yang diambil oleh padi. Nah, mengapa tak dicoba?

2. Pemilihan varietas. Petani tentu mengharapkan hasil padi yang tinggi bukan? Nah, maka di pasaran beredar benih-benih padi yang bermacam-macam, misalnya yang berasa enak, berumur pendek, pulen, dan sederet keunggulan lain. Tetapi pertanyaannya, apakah mereka tahan terhadap serangan WBC? Beberapa varietas padi yang katanya mampu berproduksi cukup tinggi tersebut ternyata kebanyakan tidak tahan terhadap WBC. Contoh, varietas Intani, Mamberamo, dan sebagainya. Dahulu, petani masih mau menanam VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) yang relatif tahan terhadap WBC. Sekarang, karena permintaan pasar akan padi yang “enak”, jadilah petani beralih menanam padi non-VUTW. Yah, akibatnya terjadilah ledakan populasi WBC. Sudah rakus, selalu diberi pakan, enak lagi! Mana tahan??!!

3. Pemberian pupuk sintetik. Hal ini sudah amat jamak dilakukan petani. Ada pendapat umum, bahwa di dalam proses budidaya tanaman, pemberian pupuk adalah mutlak dibutuhkan, terutama unsur nitrogen. Masalahnya sebenarnya bukan pada pupuknya. Kalau pupuk, ya memang dibutuhkan kok. Masalahnya terletak pada banyak-sedikitnya pupuk yang dibutuhkan oleh tanah setempat. Kita tahu bahwa setiap daerah/ wilayah mempunyai jenis tanah yang khas. Tentu saja kebutuhan akan pupuk (terutama nitrogen yang sangat dibutuhkan padi) berbeda-beda tergantung dari kemampuan menjerab nutrisi oleh partikel dari masing-masing jenis tanah, sekaligus kemampuan menahan nutrisi dari kemungkinan terlindi (terbawa aliran, misalnya air hujan). Pada jenis tanah yang kemampuan menjerab dan menahan nutrisi cukup tinggi, kebutuhan pupuknya tentu lebih rendah daripada jenis tanah yang sifatnya berkebalikan. Tetapi pada kenyataannya, di lapangan, petani cenderung memberikan pupuk dalam jumlah berlebih. Parahnya, pupuk (nitrogen) yang digunakan petani adalah pupuk sintetik yang notabene sudah lama ditengarai para ahli dapat mengubah struktur tanah. Tak heran kebanyakan tanah menjadi keras (bantat istilahnya di Jawa), karena terlalu banyak dipupuk dengan pupuk sintetik. Lain halnya jika petani menggunakan pupuk organik, termasuk kompos. Kompos mudah terurai, dan mudah diserap oleh akar tumbuhan, sehingga hampir tidak berdampak buruk terhadap sifat fisika-kimia tanah. So, mengapa tidak menggunakan pupuk organik??

4. Penyemprotan pestisida sintetik secara berjadwal. Hal ini juga jamak dilakukan oleh petani dengan asumsi bahwa pestisida adalah “kebutuhan” penting untuk “melindungi” tanaman dari serangan hama. Memang, pada kenyataannya, penyemprotan pestisida secara terjadwal dilakukan oleh petani, bahkan pada populasi hama yang sangat rendah. Tambahan lagi, petani seringkali melakukan praktek penyemprotan di bawah dosis rekomendasi, sebuah hal yang memicu terjadinya resistensi (ketahanan) hama, terutama hama dari golongan artropoda pada pestisida. Dampak lain, praktek penyemprotan yang keliru ini akan menyingkirkan musuh alami dari habitat padi, yang pada gilirannya “melepaskan” tekanan melalui pemangsaan atau parasitasi pada hama. Nah, terbayang kan kalau hama menjadi selamat berkat “bantuan” pestisida yang seharusnya membunuh mereka. Senjata makan tuan nih kayaknya…?

Apa yang mestinya kita lakukan?

Pernahkan kita berpikir bahwa ledakan populasi WBC tersebut tidak serta merta terjadi? Setidaknya empat fakta di atas membuktikan bukan? Nah, apakah ada cara yang lebih bijak, aman, dan ekonomis? Ada! Sebenarnya kuncinya terletak pada “pengelolaan” habitat atau tempat budidaya tersebut dilaksanakan. Jika kita mampu mengelolanya dengan terencana dan terkoordinasi dengan baik, maka masalah ledakan populasi WBC ini dapat diatasi. Yakin? Ya yakin!

Jelasnya, bagaimana tho?

Hal pertama. Pahami karakteristik wilayah atau lahan bakal tempat bertanam padi, meliputi kecocokan tanah untuk bertanam padi (pH, jenis tanah, ketersediaan air, dan sebagainya), dan iklim (mungkin hal ini tidak terlalu penting ya..). Banyak sekali petani yang tidak peduli dengan hal ini. Mau contoh? Coba perhatikan euforia petani beberapa waktu yang lalu untuk bertanam cabai, gara-gara harga cabai di pasaran tinggi. Mereka beramai-ramai menanam cabai, dan tidak mempedulikan kesesuaian lahan mereka untuk bertanam padi. Akibatnya? Muncullah masalah hama dan penyakit yang ditengarai lebih disebabkan oleh ketidaksesuaian lahan tersebut. Penyakit jamur muncul karena cabai ditanam di tanah yang cenderung “basah” terus-menerus, tidak mempunyai saluran pembuangan air yang memadai, dan ketidaksesuaian yang lain. Berikutnya, kita mestinya memahami juga daya dukung tanah terhadap padi. Jika tanahnya sudah mencukupi akan unsur nitrogen, maka seharusnya pemberian nitrogen harus dikurangi. Demikian pula unsur yang lain. Analisis tanah perlu dilakukan, paling tidak setahun sekali untuk memastikan kesesuaian daya dukung nutrisi tanah terhadap kebutuhan padi.

Hal kedua. Pahami juga bahwa perkembangan populasi WBC dapat diredam dengan membuat pola tanam yang dapat memutuskan siklus hidup WBC. Pola padi-padi-palawija merupakan pola yang pas seperti yang sudah dijelaskan di atas. Yakinkan pula bahwa meskipun hasil padi berkurang (karena satu musim diganti palawija), toh kita masih mendapatkan hasil dari palawija itu sendiri, di samping alasan lain yang sudah dijelaskan di atas. Jadi, hal ini bukanlah masalah besar.

Hal ketiga. Pemilihan varietas padi yang tepat. Petani cenderung memilih benih padi yang bernilai ekonomis tinggi, artinya disukai oleh konsumen, dan biasanya peka terhadap serangan WBC. IR64 adalah salah satu contoh varietas yang tahan terhadap WBC, sedangkan varietas lokal Menthik dan Pandanwangi cenderung peka terhadap WBC.

Hal keempat. Menyelamatkan dan mempertahankan keberadaan musuh alami di habitat padi. Komponen rantai makanan yang paling banyak terpengaruh oleh perlakuan pestisida oleh petani adalah musuh alami. Jika petani menyemprotkan pestisida, maka merekalah yang paling dahulu mati. Oleh karena itu, cara yang dapat dilakukan ya mengurangi penyemprotan pestisida yang berlebihan. Konservasi musuh alami juga dapat dilakukan dengan cara mencari beberapa tanaman/ tumbuhan (tentu saja yang tidak bersifat antagonis terhadap padi) penghasil serbuk sari untuk menarik kedatangan musuh alami. Kajian tentang jenis-jenis tumbuhan yang kompatibel dengan padi dan dapat digunakan sebagai pemikat musuh alami agaknya perlu segera dilakukan nih… Ada yang berminat??

Kesimpulan. Nah, pada dasarnya pengelolaan habitat menjadi upaya utama yang dapat kita lakukan untuk menciptakan lingkungan sehat yang baik untuk tanaman dan musuh alami, serta kurang cocok untuk hama. Jika sudah demikian, maka sistem pertanian yang sehat, berproduksi tinggi, dan tidak merusak lingkungan akan dapat diciptakan. Kita juga yang beruntung kan?? Yuk, bertani sehat!

Regard,

Nugroho S. Putra

Hopperburn yang diakibatkan oleh WBC (sumber: IRRI)