Pada dasarnya, seperti juga makhluk hidup yang lain, tumbuhan akan menghadapi tekanan dari musuh alaminya, salah satu yang terpenting adalah serangga herbivora. Di bidang pertanian, tanaman mendapatkan tekanan yang luar biasa dari serangga herbivora (lazim kemudian disebut sebagai hama), yang disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
- Penanaman monokultur dan dalam areal luas
- Penanaman sepanjang tahun
- Penanaman tidak serempak
- Penggunaan varietas yang rentan terhadap hama
- Penggunaan pestisida secara luas dan tidak bijaksana
(silakan ditilik kembali tulisan-tulisan sebelumnya di sini dan di sini).
Oleh karena itu, manusia berpikir untuk meringankan “beban” tanaman dalam menghadapi tekanan serangga hama, salah satunya dengan cara merekayasa varietas tanaman yang tahan hama, atau paling tidak mampu beradaptasi terhadap serangan hama.
Sejarah pengembangan varietas tanaman tahan hama
Para ahli genetika tanaman mencoba untuk merekayasa tanaman agar tahan terhadap serangan hama dengan cara menemukan sifat-sifat tahan yang ada pada sebuah tumbuhan (tanaman), kemudian memaanfaatkan sifat-sifat tahan tadi untuk mengembangkan sebuah varietas yang (lebih) tahan atau paling tidak mengurangi dampak kerusakan akibat serangan hama.
Orang pertama yang tercatat “sukses” mengembangkan tanaman yang tahan terhadap hama adalah C.V. Riley, pioner entomolog di Amerika Serikat, yang pada tahun 1870-an menemukan dan mencoba bibit anggur yang tahan terhadap serangan kutu Daktulosphaira vitifoliae yang kala itu menjadi hama utama pada anggur (silakan baca di sini).
Di Indonesia, penggunaan varietas tahan hama sudah jamak. Misalnya, pada tahun 1990-an, petani padi di Indonesia dan Asia mengenal istilah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW) yang dikembangkan oleh ilmuwan Indonesia dan IRRI Los Banos, Filipina (silakan buka lamannya di sini). Dan hingga saat ini, pengembangan varietas tahan ini dilakukan secara terus-menerus, karena banyak kejadian yang menunjukkan gejala dan bahkan fakta bahwa varietas tahan tersebut dapat dipatahkan oleh hama, misalnya pada kasus perkembangan koloni biotipe Wereng Batang Coklat yang sanggup menyerang varietas yang semula dianggap tahan. Dalam hal ini, manusia diajak berlomba melawan hama (misalnya WBC) untuk mempertahankan atau mengikhlaskan tanaman padi (dari pemangsaan oleh WBC).
Kategori ketahanan tumbuhan
Sebelum mengikuti bahasan berikut, silakan tilik dan pahami dulu tulisan sebelumnya di sini.
Pada dasarnya, terdapat hubungan timbal-balik (ko-evolusi) antara tumbuhan dan serangga herbivora yang mekanismenya cukup kompleks dan rumit. Salah satu mekanisme yang umum dipelajari orang adalah “untung-rugi”yang “dipertimbangkan” oleh tumbuhan ketika menjalankan strategi pertahanan. Secara garis besar, hipotesis yang dapat digunakan untuk menerangkan mekanisme tersebut ada beberapa, yaitu:
- Optimal defense hypothesis
- Carbon:nutrient balance hypothesis
- Growth-differentiation balance hypothesis
- Growth rate hypothesis
Pada hipotesis pertama, tumbuhan diasumsikan akan mempertimbangkan tiga faktor, yaitu jenis risiko dari serangan herbivora, nilai dari bagian/umur tumbuhan yang diserang, dan harga dari pengembangan sistem pertahanan.
Kok rumit ya?
Saya buat lebih sederhana ya. Begini. Ketika tumbuhan diserang, maka mereka tentu akan memilih strategi bertahan atau menyerang sekaligus yang paling efektif dan efisien, yang berkaitan dengan “modal” berupa energi yang harus dikeluarkan (energi kecil tetapi efektif), jadi berkaitan dengan harga sebuah sistem pertahanan. Tumbuhan juga mempertimbangkan, jika yang diserang herbivora adalah bagian tumbuhan yang penting, misalnya pucuk tumbuhan lebih penting dibandingkan daun bagian terbawah, maka strategi pertahanan menjadi lebih baik. Beberapa tumbuhan mempunyai sistem perakaran yang sangat rumit, dan tersembunyi, misalnya sistem stolon pada beberapa jenis rerumputan. Sistem ini diyakini merupakan salah satu sistem pertahanan tumbuhan yang paling hebat melawan herbivora, karena begitu satu bagian dirusak herbivora, mereka masih bisa mengembangkan bagian tubuh lain di lain tempat.
Pada hipotesis kedua, tumbuhan akan mengembangkan jenis sistem pertahanan kimiawi (menggunakan senyawa metabolit sekunder) yang sangat tergantung pada kondisi di lingkungan tumbuhan tersebut tumbuh. Misalnya, jika tumbuhan hidup pada tanah yang miskin nitrogen, maka senyawa metabolit sekunder berbasis karbon akan lebih banyak disintesis. Demikian pula sebaliknya.
Pada hipotesis ketiga, tumbuhan akan memilih (a) mengembangkan sistem pertahanan, atau (b) mengembangkan bagian tubuh tergantung pada kondisi lingkungan. Jadi mirip dengan hipotesis kedua. Jika tumbuhan amat cepat tumbuh dan mengembangkan bagian-bagian tubuh, maka bisa jadi tumbuhan tersebut mengandung senyawa kimia (metabolit sekunder) dalam jumlah yang rendah, demikian pula sebaliknya.
Pada hipotesis terakhir, tumbuhan diasumsikan mempunyai sistem pertumbuhan yang ditentukan oleh lingkungan, yang pada akhirnya menentukan kemampuannya bertahan terhadap cekaman lingkungan, termasuk herbivora. Pada beberapa penelitian, tampak bahwa tumbuhan membentuk ketahanan yang sifatnya khas lingkungan, dan tidak didapatkan di lingkungan yang berbeda. Unik yah…?
Oleh karena itu, secara ringkas, mekanisme ketahanan tumbuhan terdiri dari gabungan antara ketahanan genetik (sifat yang berasal dari tumbuhan itu sendiri) dan ketahanan ekologik (dipicu oleh kondisi lingkungan mereka hidup).
Tipe ketahanan
Ada dua tipe ketahanan tumbuhan, yaitu ketahanan kimiawi dan mekanik yang secara simultan dan terkoodinir dengan baik melaksanakan fungsinya. Pertahanan kimiawi dilakukan tumbuhan misalnya dengan mengeluarkan senyawa metabolit sekunder yang beracun, atau paling tidak, tidak disukai oleh herbivora. Atau dengan cara memperbanyak senyawa yang “merepotkan” herbivora untuk merusak jaringan tumbuhan. Pertahanan mekanik oleh tumbuhan dilakukan dengan cara memperkuat bagian luar dengan bangunan-bangunan yang tidak disukai atau menyulitkan acara makan serangga, misalnya trikoma, duri-duri, atau cairan lengket pada permukaan tubuh, atau produksi resin, lignin atau silika yang memperkuat permukaan tumbuhan. Ketahanan kimiawi dan mekanik ini bisa terjadi secara otomatis, tergantung sifat pertahanan khas tumbuhan, atau terinduksi (dipicu oleh aktivitas merusak jaringan tumbuhan oleh herbivora).
Sementara itu, para pengembang varietas tanaman menggunakan dasar ketahanan genetik berupa non-preferensi (tidak disukai atau menolak/antixenosis), antibiosis, dan toleran untuk merancang varietas tahan (menurut Painter, 1958).
Non-preferensi berarti, tumbuhan tersebut tidak disukai herbivora, mungkin karena senyawa kimia yang bersifat menolak atau beracun, atau struktur mekanik dari tumbuhan yang tidak disukai oleh herbivora, misalnya berduri, kulit batang keras, dan sebagainya.
Antibiosis berarti tumbuhan mengeluarkan senyawa beracun atau berbahaya yang akan berdampak negatif pada herbivora yang mengkonsumsinya. Herbivora akan mengalami gangguan pertumbuhan, menurunkan keperidian, memperlambat kematangan seksual, dan sebagainya.
Tumbuhan yang toleran berarti, jika dibandingkan dengan tumbuhan yang tidak toleran, maka mengalami kerusakan atau kerugian yang lebih kecil. Jadi biar dihuni dan diganggu oleh banyak herbivora, kalau tanaman itu toleran, ya biarkan saja, tidak perlu dikendalikan.
Prospek dan tantangan varietas tanaman tahan hama
Di zaman ketika penduduk dunia, termasuk Indonesia, berkembang dengan sangat cepat, maka prospek varietas tanaman yang tahan terhadap gangguan hama menjadi sangat bagus. Pada era modern ini, pengembangan varietas tanaman tahan hama sudah sedemikian canggih, misalnya melalu teknik penyisipan gen yang melahirkan tanaman transgenik. Hanya saja, tanaman jenis ini tidak boleh digunakan begitu saja, namun membutuhkan penelitian dampak terhadap lingkungan yang menyeluruh, terutama dampak buruk terhadap organisme non-serangga. Apalagi ditengarai, bahwa tanaman transgenik mungkin membunuh serangga-serangga musuh alami, dan beberapa jenis serangga sudah menampakkan gejala resisten terhadap tanaman yang disisipi gen bakteri Bacillus thuringiensis. Silakan baca penjelasan yang lebih lengkap di sini.
Selamat membaca.
Regard,
Nugroho S. Putra
Referensi
- Painter, R.H., 1958. Resistance of plants to insects. Annual Review of Entomology 3: 267-290.
- Pedigo, L.P., 2002. Entomology and pest management. Prentice-Hall of India, New Delhi.
- Smith, C.M. 2005. Plant resistance to arthropods. Molecular and conventional approaches. Springer, Dordrecht.