Bagaimana cara mengamankan ide yang (tiba-tiba) datang?

Pernahkah Anda tiba-tiba mendapatkan ide yang menurut Anda brilian? Mungkin ketika Anda sedang di kamar kecil, sedang mandi, sedang minum kopi, atau sedang termenung di depan kompi, atau malah sedang jalan-jalan atau naik kendaraan. Bagaimana rasanya? Waow, saya yakin Anda akan termenung sejenak, terpesona oleh kemunculan ide tersebut, merasa mendapatkan energi baru, atau bisa pula Anda senyum-senyum sendiri persis orang gila…ha…ha…ha.

Nah, sekarang, bagaimana jika Anda hanya sekedar mengingat-ingat ide tersebut, dan kemudian sejenak Anda kehilangan ide tersebut? Saya yakin, Anda akan merasa begitu menyesal, sebal…… dan biasanya hanya akan bisa menggerutu: ”Sialan, sayang banget tuh ide kok hilang sih….. huhh…!!” Padahal Anda sudah meng-gadang-gadang (ada istilah yang lebih baik untuk kata ini?) ide tersebut untuk dikembangkan lebih lanjut. Sayang sekali kan!

Hal paling mudah untuk menyelamatkan ide yang sering datang tanpa permisi adalah dengan segera mencatatnya. Ketika ide  tersebut datang, saya biasanya akan berhenti sejenak, diam, dan kemudian mencatat ide-ide yang berseliweran di benak. Anda dapat membuat ringkasannya di dalam HP (bisa menggunakan Message, kemudian menyimpannya dalam Save as a draft). Saya biasa pula menggunakan buku kecil yang biasanya selalu saya selipkan di saku atau tas. Tapi, hati-hati jika menggunakan lembaran-lembaran kertas. Saya pernah mengalami kejadian kehilangan lembaran kertas yang isinya kumpulan ide! Hmmm….ya saya ikhlaskan sajalah… Makanya, menuliskan ide di sebuah buku saku adalah cara yang paling baik. Lha bagaimana jika kalau Anda mendapatkan ketika sedang mandi? Apakah langsung dituliskan di lembaran-lembaran catatan. Ya, tidaklah! Ingat-ingat saja dulu sembari mandi yang bersih ya…. Begitu keluar kamar mandi, segera cari buku, lalu segera catat! Sekilas tampak seperti orang gak beres yah…? Masih belepotan air kok tahu-tahu menulis, terburu-buru lagi! Ya, gak pa-pa, daripada kehilangan ide yang siapa tahu menjadi modal kesuksesan Anda. Ya tho?

Jika Anda terbiasa membawa notebook atau netbook, Anda dapat langsung menyimpannya dalam hardisk. Bagi yang tak biasa, gak menjadi masalah. Saya malah masih lebih suka menggunakan buku saku daripada langsung menuliskan di kompu karena alasan sepele, menulisi sebuah buku saku lebih bebas, karena saya bisa menyertakan coretan, gambar, sketsa, dan semacamnya. Hal yang sulit dilakukan di sebuah kompu! Tetapi sekali lagi, ini terserah Anda lho! Gak ada paksaan.

Lha kalau gak ada media untuk ditulisi, sementara Anda sudah kebelet menuliskannya? Yah, gimana caranyalah! Anda toh bisa berhenti sejenak di sebuah warung kek, atau tempat tambal ban, atau apalah…. Minta secarik kertas (sobekan koran atau bekas bungkus rokok juga gak masalah), lalu tuliskan ide Anda! Beres kan! Dalam situasi begini, buang jauh-jauh rasa rikuh, apalagi malu. Wong gak telanjang kok malu? Lha wong para artis saja pada berlomba telanjang gak malu kok….^-^. Weleh, emang kita artis???

Apa saja yang perlu dicatat?

Pertama kali, tuliskan “judul” dari ide Anda. Ini penting, karena judul dapat Anda gunakan untuk memformulasikan, mengikat sekian banyak ide yang sekelompok, kemudian membatasi bahasan agar tidak terlalu liar (fokus). Hal ini penting, karena adakalanya, dan sering malah, ide-ide yang berseliweran tadi dijadikan satu. Hasilnya, gak jelas lagi arah ide tersebut! Kedua, Anda harus dapat menuliskan pokok-pokok ide secara sistematik. Tuliskan pokok-pokok tersebut mengikuti jalan berpikir yang runtut. Ketiga, Anda dapat mencatat pula beberapa hal yang masih relevan dengan ide pertama. Hal ini menguntungkan, terutama jika Anda kemudian mendapatkan ide baru setelah mencatat hal-hal kecil tersebut.

Membuat gambar untuk mengikat ide

Jika Anda gemar membuat sketsa, ide dapat diikat dengan cara menggambarkannya dalam gambar, bagan, skema, atau semacamnya. Gambar-gambar tersebut dapat Anda rangkai menjadi sebuah kelompok ide yang akan membentuk ide besar Anda.

Oke, jika sudah demikian, maka Anda akan tinggal menyimpannya, untuk kemudian Anda tuliskan selengkapnya jika Anda sudah mempunyai waktu yang cukup. Nah, tunggu apalagi, ayo…..ikatlah ide Anda sebelum menguap!

Regard,

Nugroho Susetya Putra

E-mail: nugrohoputra27@gmail.com

Tentang hama tanaman

Arti hama (pest)

Secara umum, hama atau pest diartikan sebagai jasad pengganggu (jasad renik, tumbuhan, dan hewan). Pada perkembangannya, istilah hama didefinisikan dengan lebih khusus, yaitu hewan yang mengganggu manusia, dan dipersempit lagi menjadi hewan yang mengganggu tanaman (tumbuhan yang diupayakan manusia), maka dikenal istilah Hama Tanaman (Pests of Crops). Tetapi sekali lagi, jangan salah bahwa pengertian hama itu sebenarnya lebih luas dari sekedar Hama Tanaman, karena ada juga Hama Rumah Tangga (misalnya, kecoa, kutu busuk, nyamuk dan sebagainya), Hama Ternak (misalnya, serangga vektor penyakit pada ternak), dan sebagainya. Jasad lain, yaitu tumbuhan dan jasad renik kemudian diberi label gulma dan penyakit. Kemudian, jika ketiga kelompok jasad pengganggu tersebut mengganggu tanaman, maka disebut sebagai Organisme Pengganggu Tanaman (OPT).

Penasbihan satu jenis hewan pengganggu sebagai hama bersifat antroposentrik, sehingga sangat relatif. Misalnya, di daerah transmigran di Sumatra, gajah dan kera dianggap sebagai hama karena menyerang dan merusak tanaman. Namun, di daerah lain, jika gajah dan kera hidup di habitat aslinya dan tidak merusak usaha manusia, maka mereka tidak dianggap sebagai hama. Sebaliknya, hewan yang pada mulanya tidak dianggap sebagai hama, jika pada suatu saat populasinya meningkat dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi manusia, maka dapat dianggap sebagai hama. Contoh, wereng coklat yang populasinya masih di bawah Ambang Ekonomi, dan tentunya tidak menimbulkan kerugian pada tanaman padi, maka tidak akan dianggap sebagai hama. Setelah populasinya meledak dan menimbulkan dampak ekonomis, barulah dianggap sebagai hama.

Arti penting hama

Sebagai “perusak”, bagaimanapun juga, hama mempunyai arti yang sangat penting. Kerusakan yang diakibatkan oleh hama dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Kerusakan kualitatif terjadi jika aktivitas makan (maupun reproduksi) hama mengakibatkan penurunan mutu hasil. Sebagai contoh, buah jambu biji atau air yang diserang larva lalat buah (Diptera: Tephritidae) mungkin tidak akan terpengaruh secara kuantitas, namun secara kualitas (mutu) konsumen enggan mengkonsumsi buah yang dihuni oleh larva (set atau sindat) tersebut. Contoh lain, lembaran daun tembakau yang terlubangi, meskipun kecil, oleh larva Heliothis armigera akan ditolak oleh pabrik cerutu. Sementara itu, kerusakan kuantitas terjadi jika serangan hama mampu menurunkan hasil panen secara nyata.

Oleh karena itu, arti penting satu jenis hama sebagai hama bersifat relatif juga jika dilihat dari segi nilai ekonomis tanaman atau bagian tanaman. Misalnya, H. armigera tidak dianggap merusak tembakau secara kualitatif jika hama ini makan pada daun tembakau yang tidak digunakan sebagai pembungkus cerutu, artinya daun tembakau tidak mempunyai nilai ekonomis yang amat tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sudut pandang yang lain, yaitu seberapa besar mereka merusak bagian tanaman yang bernilai ekonomis tinggi. Tungau mungkin tidak dianggap sebagai hama ketela pohon, karena aktivitas makan dan berbiak mereka pada daun tidak akan mampu menurunkan hasil umbi ketela secara nyata.

Macam agensia hama

Ada empat filum yang menyumbang peran sebagai hama, yaitu nemathelminthes (golongan cacing renik), moluska (golongan hewan lunak semacam siput dan bekicot), artropoda (tungau dan serangga), dan chordata (hewan bertulang belakang misalnya kera, tikus, dan sebagainya). Masing-masing kelompok mempunyai ciri tanda serangan yang khas, yang biasanya dihubungkan dengan jenis alat mulut dan perilaku khas, dan sering digunakan untuk mengidentifikasi kehadiran mereka (ada ilmu “peramalan” juga lho di sini, meramal jenis hama tanpa kehadiran mereka ^-^).

Dinamika populasi hama dan kerugian ekonomi

Pada galibnya, seperti halnya pada jasad yang lain, dinamika populasi hama dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor abiotik (tak hidup) dan biotik (hidup). Faktor abiotik, misalnya kesuburan tanah, suhu dan kelembaban, dan curah hujan, sedangkan faktor biotik, misalnya musuh alami dan pesaing. Kedua faktor tersebut akan berjalin-kelindan mempengaruhi dan menentukan populasi hama melalui suatu mekanisme yang rumit. Oleh karena itu, tidak mudah untuk menentukan faktor penyebab dinamika populasi hama.

Lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan populasi hama berkembang drastis dan menjadi sebuah “ledakan hama” yaitu:

  1. Penanaman monokultur sepanjang waktu dan tempat, contoh padi.
  2. Penanaman jenis tanaman unggul produksi , tetapi peka hama.
  3. Penanaman jenis tanaman baru di suatu daerah sehingga belum ada musuh alami hama (kemungkinan juga baru) di lokasi baru tersebut.
  4. Penggunaan bahan kimia: pupuk buatan, pestisida, hormon tumbuh, pengairan dll yang berlebihan.
  5. Penggunaan pestisida sintetik berspektrum lebar yang dilakukan secara tidak bijaksana, terus menerus dan berlebihan. Hal ini menimbulkan resistensi, resurjensi, dan mungkin ledakan hama sekunder.
  6. Faktor lain, misal terjadinya penyimpangan cuaca dan iklim, misalnya LaNina, ElNino dan sebagainya.

Masalah terbesar yang diakibatkan oleh hama adalah jika populasinya meningkat sangat tajam dan menimbulkan kerusakan yang amat parah, sehingga menimbulkan kerugian ekonomi (melampaui nilai Ambang Ekonomi). Jadi, sebenarnya, keberadaan mereka pada tanaman sah-sah saja dan bukan menjadi ancaman berarti jika populasinya di bawah Ambang Ekonomi. Namun, kebanyakan petani menganggap bahwa keberadaan hewan pada tanaman selalu dianggap sebagai “ancaman” yang mesti ditangkal, dilawan, dan kalau perlu dienyahkan! Walah, kayak perang saja ya…. Coba bayangkan, jika di lahan Anda terdapat beberapa ekor wereng coklat saja, apakah layak mereka dianggap sebagai hewan “jahat” yang harus dilenyapkan? Hmmm…kayaknya kok berlebihan ya??

Tunggu posting selanjutnya ya. Istirahat dulu ahhh……

Regard,

Nugroho S. Putra

E-mail: nugrohoputra27@gmail.com

Tirip pada adpokat (Sumber: http://cisr.ucr.edu)

Tirip pada adpokat (Sumber: http://cisr.ucr.edu)

Manusia sebagai penyebab utama munculnya hama

Tahukah Anda bahwa sistem budidaya tanaman pertanian akan selalu berhadapan dengan tekanan-tekanan yang berasal dari faktor abiotik dan biotik. Dinamika perubahan cuaca dan iklim yang sangat nyata ditengarai menjadi salah satu faktor penentu yang cukup penting pada peningkatan insiden ledakan populasi hama di berbagai tempat, apalagi ditambah dengan fenomena global warming yang melahirkan beberapa anomali iklim (La Nina, El Nino, dan sebagainya).

Namun, bagaimanapun juga, faktor perilaku manusia dapat dianggap sebagai faktor terpenting. Pemanasan globalpun lebih disebabkan oleh ulah manusia, jadi bukan merupakan suatu hal yang “ada-tanpa-penyebab”. Ingin contoh? Tengoklah, bagaimana manusia mengganti area hutan menjadi area pertanian atau pertambangan. Atau, bagaimana manusia membangun gedung-gedung tanpa mempedulikan keseimbangan tata guna lahan (lebih luas bangunannya daripada areal hijau). Terakhir, ketika Revolusi Hijau (Green Revolution) dicanangkan antara tahun 1940-an sampai 1970-an, maka kejadian-kejadian “aneh” yang terkait dengan bidang pertanian (termasuk perkebunan) mulai bermunculan (Revolusi Hijau akan ditulis tersendiri dalam posting tersendiri). Misalnya, mulai timbul lonjakan populasi hama (termasuk kemunculan hama sekunder), meningkatnya ongkos budidaya pertanian, munculnya penyakit-penyakit aneh misalnya kanker kulit, keracunan akut pada petani, kematian organisme bukan sasaran, penurunan keanekaragaman hayati, dan kejadian-kejadian sejenis yang tidak disangka sebelumnya. Silakan baca di sini dan di sini.

Pada tataran petani dan pengambil keputusan (pemerintah), hal-hal di atas diperparah dengan munculnya paradigma “hasil tanaman tinggi, apapun risikonya”. Dengan menggunakan paradigma ini, maka manusia kemudian cenderung tidak memikirkan akibat buruk pada lingkungan karena “sibuk” mengejar keuntungan ekonomis (profit-oriented paradigm). Salah satu contoh nyata adalah keputusan petani dan pelaku budidaya yang lain untuk menggunakan bahan kimia (pupuk buatan dan pestisida sintetik) untuk meningkatkan hasil panen (sekaligus “mempermudah” urusan budidaya). Bagaimana tidak lebih mudah, jika petani hanya perlu menanam benih, memberikan pupuk (sudah tersedia di toko pertanian), mengaplikasikan pestisida (untuk “mencegah” kedatangan organisme pengganggu tanaman termasuk hama), kemudian memanen hasilnya. Perilaku ini hampir selalu tidak didukung dengan sebuah kesadaran bahwa daya dukung alam (tanah dan air) tidak akan pernah makin tinggi, dan bahkan akan menurun dari waktu ke waktu. Cobalah ditanyakan ke para petani, apakah mereka bisa memperoleh hasil panen yang makin tinggi pada waktu-waktu berikutnya? Mereka akan menjawab, tidak!

Pada beberapa dekade belakangan ini, muncul tambahan “pemikiran” bahwa sebuah tanaman haruslah berdaya hasil (bobot panen) dan berdaya tahan tinggi (terhadap serangan organisme penggangu tanaman). Maka petani mulai menggunakan benih-benih transgenik (akan dibahas  pada posting berikutnya). Permasalahan muncul, karena ternyata tanaman transgenik ini berdaya hasil tinggi, tahan terhadap satu atau dua jenis OPT, tetapi tidak pada OPT yang lain. Artinya, kemungkinan terjadinya pergeseran status dari organisme yang “tidak terlalu” mengganggu tanaman menjadi organisme yang “sangat” mengganggu tanaman.

Hal lain yang dilakukan manusia adalah, memasukkan spesies hewan yang bersifat invasif (akan diposting kemudian), ataupun tanaman yang “membawa” hama-hama eksotis yang belum pernah ditemukan di Indonesia. Untuk hal pertama, ingatkah Anda tentang masuknya Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck). Pada mulanya, hewan ini dimasukkan sebagai hewan peliharaan (Pet). Tetapi karena satu kejadian, beberapa ekor lepas ke lapangan, dan segera berkembang menjadi hama padi yang amat berbahaya, hingga kini! Contoh hal kedua adalah masuknya hama Liriomyza sp (Diptera: Agromyzidae) melalui impor bunga potong dari Belanda pada sekitar tahun 1990-an. Sesampai di Indonesia, spesies lalat pengorok ini segera berkembang menjadi hama yang amat merugikan karena sangat polifag.

Nah, sepertinya dunia pertanian bukan sebuah dunia indah yang serba mudah, serba cepat, dan serba menguntungkan ya? Perlu upaya yang keras dan cerdas untuk mendapatkan keuntungan ekonomis yang tinggi sembari mengupayakan agar daya dukung lingkungan terhadap budidaya tersebut dapat diperpanjang (dipertahankan selama mungkin). Siapkah kita? Tunggu posting saya selanjutnya.

Regard,

Nugroho Susetya Putra

E-mail: nugrohoputra27@gmail.com

Liriomyza brassicae (Sumber: Invasive.org, 2009)

Hijrah kedua: Dongeng tentang SERANGGA

Beberapa menit setelah mem-posting tulisan mengenai hijrah judul blog (Ilmu Serangga), muncul saran dari seorang sahabat (Pak Moehari Kardjono) untuk memberi judul blog menjadi Serangga dan Kehidupan (kita). Alasan beliau sangat sederhana dan masuk akal, yaitu agar sebanyak mungkin memahami arti serangga dan peranannya di dalam kehidupan manusia. Sebuah ide yang sangat bagus (Terima kasih Pak Moehari!). Kemudian, beberapa jenak kemudian, muncul saran dari sahabat lain (Mas Nasih Widya): bagaimana kalo blog ini diwarnai dengan beberapa tulisan yang istilah dalam sinema “mencekam”. Wah, tertawa saya, kayak mau produksi film saja. Tetapi saya sangat memahami ide dari Mas Nasih ini. Sebenarnya alasannya sama dengan Pak Moehari: agar lebih membumi dan dipahami banyak orang, terutama untuk memberikan pemahaman kepada orang banyak bahwa serangga itu menarik, indah, sekaligus berbahaya!

Setelah berpikir beberapa lama, saya memutuskan untuk hijrah lagi ke judul baru: Dongeng tentang Serangga, artinya cerita atau dongeng tentang seluk beluk kehidupan serangga.

Alasannya?

Alasan pertama. Bukankah selama ini, saya mengungkapkan beberapa fakta tentang serangga bukan hanya sebagai hama (baca, pengganggu), tetapi juga peranannya dalam banyak hal, misalnya penyerbuk,  perombak bahan organik (misalnya kecoa, rayap, dan sebagainya), pemangsa, parasitoid, dan sebagainya (baca di sini). Jika saya men-judul-i (maksudnya memberi judul ^-^) blog dengan Ilmu Serangga, Hama, dan Lingkungan, maka terkesan sangat eksklusif, yaitu hanya membahas peran serangga sebagai hama. Maka, jadilah saya setuju dengan saran Pak Moehari!

Alasan kedua. Menulis sesuatu yang eksklusif lebih sulit dibandingkan dengan menulis sesuatu yang lebih umum. Jika saya berkeras untuk menulis tentang per-hama-an saja, maka selain beban tugas (walah!!) menjadi bertambah, blog ini juga akan dituding sebagai penganut mazhab “Biar gak jelas asal eksklusif”. Wah, gak banget deh..!

Alasan ketiga. Pengertian dongeng sangat luas, di antaranya adalah cerita tentang kehidupan, baik kehidupan yang sifatnya merugikan (bagi yang lain), maupun menguntungkan (bagi yang lain). Dongeng juga mengandung makna cerita yang menarik dan menakjubkan (persis seperti ide Mas Nasih!). Sisi lucu, indah, mengerikan, bahkan menjijikkan dapat menjadi bagian dari sebuah dongeng tentang serangga. Bukankah ini lebih bermakna untuk disampaikan?

Jadi dengan judul Dongeng tentang Serangga, saya ingin menyampaikan sebuah pesan bahwa serangga itu penting, peranannya vital bagi lingkungan, berguna, indah, lucu, sekaligus berbahaya! Mudah-mudahan bermanfaat.

So, sekali lagi, pengumuman…pengumuman… Blog saya sudah berganti nama menjadi Dongeng tentang SERANGGA lho… Terima kasih ya semuanya.. (terutama Pak Moehari dan Mas Nasih dengan ide briliannya ^-^).

Regard,

Nugroho Susetya Putra

Founder Blog DONGENG TENTANG SERANGGA

Ditetapkan di Yogyakarta, tanggal 27 Februari 2011 malam (kira-kira pukul 10.01 WIB)

Serangga, Hama, dan Lingkungan

Beberapa hari yang lalu saya buka weblog ini, dan ….hmmm …. ada yang kurang pas dengan nama weblognya. Bengong sana bengong sini, dan akhirnya …. saya putuskan untuk memperbaharui judul site-nya menjadi Ilmu Serangga, Hama, dan Lingkungan! Mungkin ada yang penasaran ya, ngapain judulnya diganti? Oke, tak terangkan satu per satu alasan saya ya.

Alasan pertama: Saya ingin cakupan blog ini menjadi lebih luas, dan tidak hanya berkutat di bidang serangga, tetapi juga bidang per-hama-an, karena serangga toh juga menyumbang sekitar 70 persen dari total spesies yang menjadi hama tanaman. Jadi, membicarakan serangga tanpa menghubungkannya dengan hama (pest) adalah kurang pas.

Alasan kedua: Meskipun menyumbangkan sekian banyak spesies sebagai hama, namun penasbihan kelompok serangga sebagai hama membutuhkan pertimbangan yang amat dalam, terutama karena istilah hama sendiri bersifat sangat relatif.

Hama adalah semua jenis hewan yang berperan sebagai pengganggu tumbuhan yang diusahakan manusia (tanaman).

Nah, coba perhatikan adanya makna relatif pada frasa “hewan yang berperan sebagai pengganggu tumbuhan yang diusahakan manusia”. Artinya, jika tumbuhan  tersebut diusahakan manusia, maka setiap jenis pemakan tumbuhan (herbivora), termasuk serangga, berpeluang untuk dikategorikan sebagai hama. Jika tumbuhan tersebut tidak diusahakan manusia? Ya, herbivora-herbivora tersebut bukan hama. Sifat relatif tadi dapat berkembang lebih jauh: jika serangga herbivora tersebut makan bagian tanaman yang tidak penting bagi manusia (misalnya ulat yang makan daun rambutan), maka serangga itupun bukan tidak mungkin diabaikan sebagai hama.

Oleh karena itu, saya menganggap bahasan tentang serangga sebagai hama adalah sangat-amat penting!

Alasan ketiga: Membicarakan serangga dan hama tanpa mengikutsertakan lingkungan sama juga bohong! Percaya kan? Lha iya, wong serangga itu hidup di bumi yang berisi organisme lain, tanah, udara, air, yang notabene kesemuanya disebut “lingkungan”. Serangga berhubungan dengan tumbuhan (mungkin sebagai pakan), serangga lain, binatang lain, bahkan manusia, serta tergantung pada tanah, air, udara, dan faktor abiotik lain dalam ukuran yang paling pas.

Serangga mungkin dapat berkembang menjadi hama karena pengaruh lingkungannya.

Mengapa demikian?

Kembali ke alasan kedua, jika lingkungan (katakanlah ketersediaan pakan bagi serangga herbivora) tidak memadai, maka serangga tidak akan pernah dituduh sebagai hama. Tetapi sebaliknya, jika lingkungan memadai, misalnya dengan tersedianya pakan (tanaman) yang berlimpah (karena ditanam manusia), populasi sekelompok serangga herbivora dapat berkembang dengan amat cepat, dan dapat dianggap sebagai hama karena merugikan manusia.

Kesimpulan:

Nah, setelah memperhatikan dan menimbang segala gagasan, maka saya memutuskan untuk mengubah judul weblog ini seperti tertulis di atas, dengan harapan agar pembahasan hubungan antara serangga-hama-lingkungan menjadi nyambung.

Selamat menikmati ya.

Regard,

Nugroho Susetya Putra

E-mail: nugrohoputra27@gmail.com